Jakarta – KONEKSI menggelar diskusi bertajuk CONNECT Building a Circular Economy di Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta Pusat. Jumat (28/2/2024)
Acara ini membahas bagaimana ekonomi sirkular bukan sekadar tren, melainkan solusi untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan merancang ulang sistem, mengurangi limbah, dan memperpanjang siklus hidup produk, ekonomi sirkular diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya, mendorong inovasi, serta menciptakan peluang ekonomi baru.
Diskusi ini menghadirkan berbagai pembicara, baik secara langsung maupun daring. Beberapa narasumber yang hadir di antaranya:
– Andi Rizaldi, S.T, M.M, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri, Kementerian Perindustrian (Keynote Speaker).
– Tim Stapleton, Minister Counsellor for Governance and Human Development, Kedutaan Besar Australia di Jakarta (Opening Remarks).
– Gita Syahrani, Ketua Earth Centered Economy Coalition (Moderator).
– Prof. Diego Ramirez, Profesor Arsitektur, Fakultas Seni dan Desain, Monash University.
– Dr. Dwinanti Marthanty, Peneliti Utama di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
– Priyanto Rohmattullah, SE, MA, Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
– Agus Rusly, S.PI., M.Si, Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
– C.S Lestari, Pendiri Playlewithless dan pegiat keberlanjutan.
Dalam sesi diskusi, Agus Rusly dari KLHK menekankan bahwa pengelolaan sampah organik dan anorganik membutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah pusat, daerah, serta masyarakat.
“Tanah-tanah di TPA sekarang sudah tertutup sehingga proses dekomposisi bahan organik terhambat. Sebenarnya, pengolahan bahan organik bukan hanya tugas pemerintah pusat, tetapi juga kewajiban pemerintah daerah melalui dinas lingkungan hidup masing-masing kabupaten/kota. Sedangkan infrastruktur seperti pembangunan TPA menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya memanfaatkan sampah organik sebagai kompos dan pakan maggot (black soldier fly). Menurutnya, maggot bisa menjadi sumber protein untuk pakan ternak, sehingga sisa makanan dapat dikelola dengan lebih produktif.
“Kita harus mendorong masyarakat untuk memilah sampah organik agar bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, yang nantinya dapat digunakan untuk pertanian kota. Dengan demikian, masyarakat bisa menghasilkan ekonomi yang lebih baik, baik untuk konsumsi sendiri maupun peternakan,” tambahnya.
Selain itu, ia menyoroti potensi besar pengolahan sampah di Indonesia, terutama dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor tepung ikan untuk pakan ternak.
“Saat ini, Indonesia mengimpor tepung ikan senilai sekitar Rp350 miliar. Jika kita bisa mengolah limbah organik dengan baik, ini bisa menjadi alternatif sumber protein yang lebih murah sekaligus mengurangi volume sampah,” katanya.
Dalam diskusi, para panelis juga membahas tantangan dalam pengelolaan sampah, termasuk risiko pembakaran sampah yang tidak sempurna.
“Jika sampah dibakar dengan suhu yang tidak sesuai, dapat menghasilkan dioksin, yang merupakan zat berbahaya dan dapat memicu kanker. Oleh karena itu, jika ingin membakar sampah, suhunya harus mencapai tingkat tertentu agar tidak menghasilkan zat beracun,” ujar Agus Rusly
Selain itu, beberapa sampah anorganik juga masih memiliki nilai ekonomi, seperti kertas dan plastik yang dapat didaur ulang. Namun, tantangannya adalah memastikan sampah yang tidak bisa didaur ulang dapat diolah menjadi bahan bakar alternatif atau produk yang lebih ramah lingkungan.
Diskusi ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular harus didukung oleh kebijakan yang tepat, riset yang berkelanjutan, serta inovasi dalam pengolahan sampah. KONEKSI sendiri berencana untuk terus menggelar serial diskusi serupa guna memperdalam pemahaman dan mempercepat implementasi ekonomi sirkular di Indonesia.
Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, diharapkan konsep ekonomi sirkular dapat menjadi bagian integral dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia.